Pemakaman

Harusnya aku sudah terpejam jika saja tidak mendengar suara-suara aneh itu. Di luar masih hujan sejak jam 10 pagi tadi belum reda. Hari ini aku terjebak di kos-kosan Rash, teman satu organisasiku. Di sini juga ada Tand yang juga satu organisasi denganku. Tand di sini karena tidak mau tidur di kosnya sendirian, jadi ikut menginap dengan Rash.

Sebenarnya aku tidak terlalu terganggu dengan suara aneh di luar. Hanya saja, obrolan singkat kami beberapa jam yang lalu membuatku teringat terus-menerus. Lama-lama jadi kepikiran.

Awalnya kami bercerita seperti biasa. Kebetulan sebentar lagi 17 Agustus, karena kami satu organisasi di bidang musik, kami berusaha mencari kegiatan apa yang pas untuk nanti diadakan saat 17 Agustusan. Di tengah pandemi begini, sebagai anggota yang bertanggung jawab, kami harus benar-benar putar otak untuk tetap produktif menjalankan program kerja organisasi.

“Kalo bikin konten cover lagu Gugur Bunga kira-kira masuk ga, ya?” Tanya Rash.

“Memangnya gak terlalu melow, Rash? Kan, biasanya gugur bunga itu dipake untuk mengenang pahlawan kan, ya?” jawabku.

Karena tidak sepikiran dengan Rash, akhirnya aku merogoh tasku yang tergantung di belakang pintu kamar Rash, mengambil buku untuk mencatat beberapa judul lagu kemerdekaan. Aku mengeluarkan laptop dari tas dan  mulai berselancar menggunakan internet bermaksud mencari referensi lagu yang cocok. Sementara Rash di dapur memasak untuk kami makan malam sambil memutar lagu Gugur Bunga Cipt. Ismail Marzuki. Tand sedari tadi hanya sibuk berdiri di depan cermin, entah apa yang dipikirkannya.

“Sebenarnya aku mau cerita sesuatu, girls.” Tand tiba-tiba nyeletuk.

Tand memang begitu. Selalu saja tiba-tiba mengejutkan kami dengan ceritanya yang sebenarnya sulit kami pahami. Temanku yang satu ini seharusnya menjadi pelatih olah rasa dan nada di organisasi kami tahun ini, tapi karena tidak percaya diri, dia malah melemparkan tanggung jawab itu ke aku yang menurutku masih belum sehebat dia. Dia ini bisa dibilang terlalu fanatik kalo ngomongin soal musik. Khayalannya tentang musik memang sering aneh-aneh dan seolah real. Makanya, harusnya dia yang lebih cocok untuk jadi pelatih.

“Kalian barusan ngomongin gugur bunga, kan? Aku kok ngerasa ada sesuatu yang terjadi di komplek ini, ya?” kata Tand menjelaskan.

“Gausah aneh-aneh, deh. Emang kejadian apaan? Stop deh ngayal yang kaya gitu-gitu, Tand. Kalo cuma ngerasain feel musik, aku juga bisa kali.” Rash mencoba menyangkal Tand sang pengkhayal.

“Bukan-bukan, ini tuh beda. Bukan cuma kaya gitu, Rash.”

Tand yang sedang di depan cermin melepaskan jilbabnya, lalu kembali duduk seakan ingin memulai pembicaraan dengan sangat serius.

“Aku bisa ngerasain apa yang dimaksud sama lagu, seolah-olah aku ngalamin itu juga. Terserah kalian mau percaya atau tidak, yang jelas aku sudah cerita.” Tand masih memaksa memberikan penjelasan tentang apa yang dia rasakan. Tapi karena tidak mengerti maksud Tand, aku dan Rash tidak terlalu menanggapi.

Di luar masih berisik. Aku tersadar dari lamunan ketika jam dinding Rash menunjukkan pukul 2 malam. Seolah memperingatkan aku untuk segera tidur.

Saat tertidur pulas, aku samar-samar mendengar suara seseorang seperti sedang berpidato dari luar.

“Para prajurit dan teman-teman sekalian, terutama rekan-rekan yang sekarang sedang kami lepaskan. Hari ini adalah hari angkatan bersenjata kita, hari yang selalu gemilang.”

Ternyata bukan hanya aku, Rash dan Tand juga ikut terbangun karena suara berisik di luar semakin mengganggu. Jam dinding masih menunjukkan pukul 4.30 pagi, sementara di luar matahari terlihat seolah sudah di atas kepala, saat kami mencoba mengintip lewat jendela.

“Jam dindingmu rusak, Rash ?” tanyaku kebingungan

Tand dan Rash saling berpandang-pandangan, kelihatannya sama bingungnya denganku. Kami bertiga berebut membuka tirai jendela kamar, mengintip, ingin tau dari mana asal suara-suara berisik yang membuat kami bertiga terbangun.

Benar saja, halaman kost tempat Rash menjemur pakaian berubah seperti lapangan upacara nasional. Kami melihat seseorang berdiri di atas mimbar seperti pembina upacara sedang memberi pidato. Dan dari arah gerbang, suara kaki menghentak seperti pasukan baris-berbaris kemudian memunculkan orang-orang berseragam –seperti pasukan angkatan bersenjata– masuk ke lapangan. Di tengah-tengah lapangan sudah ada 7 peti mati yang kami tidak tau apa dan siapa isinya. Kami bertiga persis seperti sedang menonton cuplikan film G30S/PKI.

“  Tapi yang kali ini, hari yang dihinakan.

   Hari yang dihinakan oleh fitnahan,

   dihinakan oleh pengkhianatan,

   dihinakan oleh penganiayaan.” seseorang di atas mimbar tadi melanjutkan pidatonya.

Sepertinya sekelompok orang-orang ini sedang melakukan upacara pemakaman pahlawan. Tapi kami belum bisa memastikan darimana datangnya orang-orang ini. Kami bertiga hanya fokus mengintip sembari sesekali saling bertatapan kebingungan.

Saat sedang asik diam-diam menonton upacara pemakaman melalui jendela ini selama setengah jam, kami dikejutkan oleh dering Ponsel Rash. Sepertinya notifikasi adzan subuh karena kulihat ponselku juga bergetar di kasur. Rash beranjak dari jendela bermaksud untuk mematikan notifikasi ponselnya.

Tapi satu hal yang lambat kami sadari. Bersamaan dengan dering notifikasi adzan di ponsel Rash, pemandangan yang kami intip di luar sejak tadi juga ikut menghilang. Lalu muncul kembali setelah notifikasi itu didiamkan.

Aku memperhatikan Tand. Sepertinya ini ada hubungannya dengan obrolan kami semalam.

Aku dan Rash saling bertatapan untuk kesekian kalinya. Kami berdua masih  bingung bagaimana tiba-tiba bisa upacara pemakaman itu terjadi di sini. Lalu sekarang tiba-tiba hilang sekejap seolah-olah tidak pernah terjadi. Sekian detik kemudian muncul lagi.

Rash kemudian mencabut headset yang terpasang di ponselnya setelah mematikan notifikasi adzan subuh tadi. Dan ternyata, lagu Gugur Bunga yang diputarnya sambil memasak tadi masih terputar di ponselnya. Kami membiarkannya tetap diputar karena juga lagu ini cocok diputar saat upacara pemakaman.

Sesaat kemudian upacara pemakaman selesai bersamaan dengan berakhirnya lagu Gugur Bunga yang terputar dari ponsel Rash. Halaman kembali lagi menjadi jemuran pakaian dan dipenuhi dengan motor-motor teparkir di depan pintu kost masing-masing. Langit yang tadi terang, kembali gelap.

Tand melotot ke arahku dengan ekspresi wajah mengejek.

“Apa kubilang, aku memang bisa merasakan sesuatu yang berasal dari musik, kan!”ucap Tand dengan bangga.

Hujan di luar sudah reda, suara berisik di luar pun sudah menghilang. Aku, Rash, dan Tand berhenti mempertanyakan asal suara berisik itu. Yang kami tau, kami sudah menemukan ide konten untuk nanti kami unggah ke akun sosial media organanisasi kami, berkat Tand.

 

Identitas Penulis : Sausan Citra Ramadhanty

Leave A Reply

Your email address will not be published.